Jiwa Berbagi Seorang Tentara

Menjadi tentara bukan impian Ahmad Yani Basuki. “Saya lulus Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel pada 1982. Lalu saya melihat pengumuman rekruitmen PK [Perwira Karir]. Tiba-tiba hati saya bilang, ini cocok,” katanya.

Pria yang menghabiskan masa kanak-kanak hingga dewasa di Blitar, Jawa Timur ini kemudian bergabung pada dunia militer sejak lulus dari kampusnya. Meski latar belakang keluarga bukan dari anggota TNI, ia mencoba untuk menjalani berbagai tes untuk menempuh ujian masuk militer, lolos seleksi Pak Yani, begitu ia biasa disapa, menempuh pendidikan selama 2 tahun, dan menjadi Perwira Karir pada tahun 1984 Brigadir Jenderal. Pengalaman pertama Yani ditugaskan sebagai perwira Bintal [Pembina mental] Yon Kav 5 Serbu, sesuai latar belakang akademisinya.

Alumnus IAIN ini bersyukur karena tugas dakwah dan militer saling mendukung. Dukungan dan doa dari istri dan anak-anaknya adalah anugerah yang paling besar karena dalam setiap langkahnya selalu ada keluarga di belakangnya yang mengerti risiko dan tanggungjawab sebagai anggota TNI. Memberikan penjelasan, pemahaman, serta berbagi cerita kepada keluarga adalah kebiasaan bapak tiga anak ini. Hal ini dilakukan untuk mengenalkan dunia TNI kepada keluarga, sehingga jika ia harus meninggalakan keluarga demi tugas negara di luar kota, bahkan daerah konflik sekalipun, mental mereka sudah siap.

Pengalaman yang tidak terlupakan saat Mabes TNI menunjuknya sebagai juru bicara Panglima Komando Operasi Militer di Aceh pada tahun 2003. Saat itu, hampir tiap hari terjadi konflik senjata dengan Gerakan Aceh Merdeka [GAM]. Yani dituntut untuk menjelaskan kronologis secara detail dan apa adanya. “Padahal, saya tak punya background ilmu jurnalistik atau publisistik,” katanya merendah.

Pengalamannya itu membuat dirinya tertarik pada dunia jurnalistik. Selesai bertugas di Aceh, ia melanjutkan studi S-2 di Universitas Indonesia jurusan Sosiologi. Kemudian S-3 Sosiologi Militer FISIP UI. Kegemaran belajar membuatnya menyelesaikan tesis Doktoral Ilmu Sosiologi di Universitas Indonesia. Ahmad Yani Basuki adalah perwira aktif pertama yang bergelar Doktor Sosiologi.

Kecintaannya akan ilmu membuatnya berpikir jika ilmu yang ia miliki tidak dikembangkan, maka akan sangat tidak bermanfaat. Di sela-sela kesibukannya, beliau memutuskan membagi waktu untuk menerapakan ilmu Sosiologi yang dimilikinya dengan menjadi dosen di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. Rasa pengabdiannya yang besar membuat pria yang terakhir berpangkat Brigadir Jendral ini ingin terus berbagi ilmu. Bukan karena sekedar profesi, namun jiwa untuk berbaginya yang mendorong untuk tetap menjalani kegiatan berbagi ilmu sebagai dosen Sosiologi Komunikasi. Akhir tahun 2009 lalu menjadi tahun yang sibuk untuknya. Karena ia diminta khusus oleh pihak istana menjadi staf khusus Kepresidenan.

Tiada yang menyangka bahkan bermimpi pun tidak untuk menjadi orang terdekat presiden. Kriteria yang diminta pihak istana tidaklah ia pahami. Ia merasa hanya menyerahkan riwayat hidup. Dengan beberapa persyaratan yaitu pengalaman bekerja, pendidikan terakhir, dan tahap final mengikuti tes wawancara, ia lulus memenuhi semua kriteria. Sungguh anugerah terbesar dan menjadi hadiah terindah yang pernah ia dapatkan.

Meski telah mendapatkan jabatan penting, ia tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang dosen. “Semua pengalaman hidup selalu saya terapkan kepada istri dan anak-anak, serta mahasiswa saya sebagai bekal menjalani kehidupan ini,” tuturnya. Sungguh besar rasa pengabdiannya. « [teks & foto: nisa]

Karya lain dari Khaerunisa dapat dilihat di Nisa azdiati

Satu Balasan ke Jiwa Berbagi Seorang Tentara

  1. yudha berkata:

    salut buat perjuangan hidup bapak Ahmad Yani Basuki yang dalam bekerja selalu meimplikasikan ilmu yang sudah dimiliki. 😀

Tinggalkan komentar